Selasa, 27 Juli 2010

Akal dan wahyu

Akal dan Wahyu A.     Pengertian Akal dan WahyuAkalAkal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.Akal berasal dari bahasa arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya denga lingkungan sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidakpastian yang esensial hidup iniAkal juga bisa berarti jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, dan ikhtiar Akal juga mempunyai konotasi negatif sebagai alat untuk melakukan tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikanAkal fikiran tidak hanya digunakan untuk sekedar makan, tidur, dan berkembang biak, tetapi akal juga mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang asal-usul, alam dan masa yang akan datang. Kemampuan berfikir mengantarkan pada suatu kesadaran tentang betapa tidak kekal dan betapa tidak pastinya kehidupan iniWahyuDalam syariat islam , wahyu adalah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seorang nabi atau rasul dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Prosesnya datangnya wahyu bisa melalui suara, berupa firman dan melalui visi/mimpi Berdasarkan salah satu ayat dalam al-qur'an surat An-Nisa ayat 163 163. Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud.B.     Antara Akal dan WahyuDalam berbagai kesempatan kita sering mendengar tentang perdebatan tentang mendahulukan akal atau wahyu. Kadang ada yang ekstrim mengatakan kalau membaca Al-Qur’an jangan pakai akal, mungkin menurut mereka yang dimaksud membaca disini adalah cara menafsirkannya, Tapi kadang terpikir oleh saya tapi kalau bukan pakai akal bagaimana menghasilkan suatu ijtihad atau hasil perenungan lainnya. Meskipun hasilnya salah tentulah wajarlah karena hasil pemikiran manusia yang mana tidak selalu sempurna. Bagaimana mungkin ketika anda membaca sesuatu termasuk tulisan saya ini jikalau tanpa akal. Tapi hal ini memang ada beberapa faktor mereka mengatakan seperti itu karena tidak sedikit orang yang sesat karena terlalu mengagung-agungkan akal ini.Pertama kita ketahui bahwa sangatlah sulit manusia untuk memisahkan antara akal sehat dengan hawa nafsunya. Bersikap objektif adalah sesuatu yang mustahil, kecuali dengan ijin Allah SWT.  Setiap manusia punya keinginan pribadi yang membuatnya berdeviasi dari kebenaran. Katakanlah si A ingin mengoreksi si B yang sudah telanjur terkenal sebagai ulama kondang.  Barangkali si B memang tidak pernah menyadari kesalahannya itu.  Si A bisa saja menyampaikannya secara langsung baik-baik, dan barangkali si B akan segera bertaubat dan berterima kasih seribu kali atas peringatan dari si A.  Tapi itu bukan satu-satunya pilihan.  Si A juga ingin dikenal sebagai ahli agama.  Kalau ia bisa menunjukkan kesalahan seorang ulama besar, maka namanya akan segera melambung tinggi.  Maka dibuatlah konferensi pers, diumumkanlah fatwa dan dibeberkanlah kesalahan-kesalahan si B dalam sebuah buku.  Kalau sudah begini, barangkali syetan bisa dengan mudah menyampaikan hasutannya pada si B dan berkata, “Si A adalah musuhmu.  Kamu harus menyerang balik, atau hancur digilas.”  Kalau Nabi Adam as. saja tidak luput dari godaan syetan, bagaimana nasib si A dan si B ini?Memang sulit memisahkan akal sehat dengan hawa nafsu.  Hanya orang-orang yang sangat teliti dan berhati-hati sajalah yang bisa melakukannya, itu pun tidak selalu berhasil.  Sekali-sekali si kancil jatuh juga ke dalam lubang.  Mungkin karena alasan inilah, ada sebagian orang yang merasa harus mendahulukan wahyu daripada akal, karena wahyu tidak pernah salah, sementara akal tidak pernah sempurna.Kedua, mungkin ada sebagian saudara kita yang tidak memahami makna suatu wahyu, padahal kita harus beriman bahwa wahyu itu benar.  Akalnya tidak bisa menjangkaunya, padahal ia diwajibkan untuk percaya.  Kalau ia memilih akal, bisa-bisa terjerumus hingga murtad.  Inilah sebabnya wahyu harus diutamakan daripada akal.Sebagaimana seorang atheis mengatakan “jika ada tuhan terus dimenakah dia, kenapa tidak pernah muncul di dunia ini”. Jika ditanya balik apakah masuk akal jika tuhan tiba-tiba ada dihadapan kita, sebenarnya hati kecil mereka telah oleh keinginan pribadinya.  Hanya karena Tuhan tidak terlihat, bukan berarti keberadaan-Nya tidak masuk akal.  Oksigen dan gelombang radio tidak pernah terlihat, tapi diakui oleh dunia sains.  Sebaliknya, fatamorgana jelas terlihat, namun tidak bisa dipercaya kebenarannya.  Dorongan untuk melihat Tuhan hanyalah keinginan pribadinya semata, bukan suatu cara pembuktian yang ilmiah.  Lagipula, dia lupa bahwa dia sedang berurusan dengan Tuhan.  Kalau Tuhan tidak mau menampakkan diri-Nya, lalu kenapa?  Mau protes?Memang dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat-ayat yang sulit dan rumit untuk dipahami dan itu hal yang wajar. Peradaban manusia akan selalu berkembang sehingga al-Qur’an telah didesain untuk umat sepanjang masa, sehingga saat ini banyak ayat yang belum terpecahkan dan mungkin anak cucu kita semua yang akan memecahkan tentang ayat-ayat tersebut. Tentu saja kevalidan a-qur’an tetap terjaga dan bukan suatu alasan untuk membuang 100% akal dengan kesulitan ayat-ayat tersebut tapi mendorong manusia untuk berusaha memahami sampai ketemu dengan tetap tidak mengagungkan akal 100% karena wahyu tetaplah yang tertinggi dan akal manusia tidak bias melebihinya.Kita sering mendengar dan melihat seorang non muslim hanya menemukan satu ayat saja yang bisa menggugah hatinya akan kebenarannya akan isi A-Qur’an dan mereka langsung mengikrarkan diri masuk islam, mereka tidak berhenti disitu tetapi selalu menelaah dan memahami Al-Qur’an bahkan keilmuannya melebihi orang islam yang telah berpuluh-puluh tahun memeluk agama islam, bahkan tidak sedikit yang telah menelurkan buku-buku hasil karyanya. Ini adalah sebuah kebahagiaan bagi kita, sekaligus bahan evaluasi.  Kenapa harus non-Muslim yang menemukannya?  Kenapa bukan umat Islam yang mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat yang bisa membuktikan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut?  Mengapa umat Islam bersikap pasif terhadap Al-Qur’an? What Happen?Al-Qur’an adalah petunjuk.  Kita tidak membaca petunjuk hanya ketika kita tersesat kehilangan arah.  Kita membaca petunjuk pemakaian, baru menggunakan suatu produk.  Kita membaca peta, baru memulai perjalanan.  Ayat-ayat Al-Qur’an pun demikian adanya.  Kitalah yang harus menguraikan semua maknanya.  Kalau ada yang belum bisa kita mengerti, itu wajar.  Yang jelas, kita tidak boleh berhenti menggalinya.  Kalau kita bersikap pasif, maka Al-Qur’an pun tidak akan berfungsi lagi sebagai petunjuk.Menurut saya, akal dan wahyu tidak pernah bertentangan.  Islam adalah agama yang masuk akal.  Memang susah memisahkan akal dari hawa nafsu, tapi bukan berarti kita harus menyerah.  Justru hawa nafsu itulah yang harus dididik agar tahu diri dan mau menurut, salah satunya dengan melaksanakan shaum. Masalah akan muncul ketika kita memahami wahyu tidak secara komprehensif.  Misalnya, pada Q.S. Al-Baqarah [2] : 4 dikatakan bahwa salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa adalah mereka beriman pada ajaran-ajaran yang diturunkan padanya (umat Muhammad saw.) sekaligus pada ajaran-ajaran yang diturunkan pada umat-umat sebelumnya (Nabi-Nabi terdahulu).  Lalu ada yang berpendapat, berdasarkan ayat ini, maka umat Islam pun harus mulai membaca Kitab yang dibaca oleh kaum Yahudi dan Bibel yang diimani oleh umat Kristiani.Dalam hal ini, bukan akal yang harus dipersalahkan.  Yang salah adalah ketidakkomprehensifan si penafsir dalam menyikapi ayat tersebut.  Seharusnya, sebelum menyuruh umat Islam untuk mempelajari Kitab-kitab Yahudi dan Kristen, maka ia harus mempertanyakan keabsahan Kitab-kitab tersebut.  Kaum Yahudi mengaku menjalankan ajaran Nabi Musa as., dan umat Kristiani mengaku menjalankan syariat Nabi Isa as.  Keduanya adalah Nabi yang mulia.  Tapi benarkah mereka tidak mengubah-ubah ajarannya?  Inilah pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu.  Ada pula yang berpendapat bahwa laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita Kristen, karena mereka adalah ahli kitab.  Pertanyaannya : “Benarkah umat Kristen itu termasuk ahli kitab?”  Sebab bisa jadi, yang dimaksud “ahli kitab” itu adalah umat Kristen di jaman Rasulullah saw.  Apakah keadaan mereka pada jaman itu sama dengan keadaan mereka kini?  Saya rasa tidak.  Jaman dulu, umat Kristen mengutuk kaum homoseksual.  Kini, bahkan ada uskup yang terang-terangan seorang homoseks.  Kalau kita berpikiran komprehensif, maka tidak ada alasan untuk menyebut umat Kristiani jaman sekarang sebagai ahli kitab.  Terlalu banyak perbedaannya dengan ahli kitab pada jaman Rasulullah saw. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang paling hobi ‘mengkritisi’ Al-Qur’an.  Salah satu ‘pencerahan’ yang diajarkannya adalah bahwa shalat yang wajib itu hanya tiga waktu, itu pun tidak mesti dengan gerakan-gerakan tertentu.  Memang betul, dalam Al-Qur’an tidak pernah disebut-sebut mengenai shalat lima waktu, dan Al-Qur’an juga tidak merinci tata cara shalat.  Semuanya dijelaskan dalam hadits.  Namun karena Al-Qur’an harus diutamakan daripada hadits, maka menurut mereka, hadits-hadits tersebut hanya bersifat kontekstual dan bisa diabaikan jika ada cara-cara lain yang lebih baik. Pandangan ini pun tidak komprehensif.  Al-Qur’an memang tidak merinci cara-cara shalat, namun jelas-jelas Al-Qur’an menyuruh kita untuk taat sepenuhnya pada perintah Rasulullah saw.  Banyak sekali ayat yang menyuruh demikian.  Dengan demikian, tidak mengikuti tata cara shalat yang diajarkan dalam hadits-hadits yang shahih adalah suatu pengingkaran terhadap Al-Qur’an. Dikotori oleh hawa nafsu dan tidak komprehensif.  Itulah masalah sebenarnya.  Akal tidak pernah bertentangan dengan wahyu.  Wahyu adalah petunjuk, dan akal pun adalah sebuah sarana yang Allah berikan agar manusia tidak tersesat kesana-kemari.  Mubazir sekali waktu kita bila kita mempertentangkan dua hal yang sebenarnya tidak pernah bertentangan.  Yang harus diwaspadai adalah hawa nafsu dan kemalasan kita untuk meneliti suatu masalah secara komprehensif.  Untuk mengendalikan hawa nafsu, kita diajarkan untuk melaksanakan shaum di bulan Ramadhan dan di waktu-waktu lainnya yang bersifat sunnah.  Untuk bisa memahami Al-Qur’an secara komprehensif, maka kita perlu menguasai semua ayat di dalamnya.  Dengan kata lain, kita harus hafizh dulu.  Karena itu, jangan malas membuka Al-Qur’an dan menghapalkannya.  Jangan sampai membaca satu-dua ayat saja lantas merasa sudah paham segalanya soal Al-Qur'an. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Editing by Bayu Radix Sukses| Re-Design by pkspiyungan